Jakarta – Dunia kuliner tengah berduka karena kehilangan salah satu maestro, Mbah Lindu. Penjaja gudeg legendaris di Yogyakarta ini meninggal dunia dalam usia satu abad.
Nama Mbah Lindu bukanlah sosok baru di dunia kuliner karena ia menjadi legenda gudeg di Jogja. Mbah Lindu sudah berjualan gudeg sejak usianya 13 tahun, saat zaman penjajahan Belanda. Jadi lebih dari 80 tahun ia berjualan gudeg.
Di rumah duka, Kampung Klebengan, Desa Caturtunggal, Depok, Sleman, ratusan pelayat mengantarkan Mbah Lindu ke tempat peristirahatan terakhir. Tepat pukul 11.00 WIB jenazah dibawa ke makam Klebengan yang berjarak sekitar 700 meter dari rumah duka.
Sebelum mengembuskan napas terakhir, warisan Mbah Lindu berupa gudeg yang diracik bersama dengan anak-anaknya masih tersaji di meja. Nasi, gudeg, telur, oporayam dan sambel krecek itu disajikan khusus untuk para pelayat.
“Ini (gudeg) kenang-kenangan dari Mbah Lindu,” kata Ratiyah (54) anak bungsu Mbah Lindu saat ditemui di rumah duka, Senin (13/7/2020).
Sajian gudeg yang masih hangat itu sejatinya hendak dijual pada pagi harinya. Namun, ternyata takdir berkata lain. Mbah Lindu justru sudah dipanggil kehadiratNya.
Lahono (60), putra kedua Mbah Lindu yang menemani saat-saat terakhir mengungkapkan sebelum meninggal, ibunya memberi amanat agar gudeg yang akan dijual disajikan ke para pelayat.
“Ini gudeg yang biasa dijual. Kemarin mungkin dijual. Tapi ini untuk persiapan juga. Pokoknya dijual terus kalau saya (ibu) nggak ada itu ya untuk (pelayat),” ungkapnya.
Sementara itu, Purnananda (28) salah seorang pelayat yang sempat merasakan citarasa gudeg Mbah Lindu. Ia mengatakan rasa gudeg Mbah Lindu berbeda dengan gudeg lain.
“Ada rasa gurih, tidak seperti gudeg lain yang terlalu manis. Gudegnya simbah juga agak lembab. Saya beruntung bisa menikmati racikan gudeg simbah ini,” ungkapnya.