Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ adalah langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam upaya memutuskan rantai Covid-19. Hampir seluruh sekolah kini sudah ditutup, guru dan siswa menjalani kegiatan belajar online menggunakan gadget.
Tak selalu berujung baik, proses PJJ ini ternyata telah menelan korban dan menjadi duka serta PR bagi pemerintah untuk solusi yang lebih baik.
Sistem pembelajaran jarak jauh di zaman corona tak semudah dibayangkan di awal-awal. Masalah muncul di sana-sini. Mulai dari anak kurang konsentrasi, orangtua kesulitan membeli kuota internet, sampai repotnya orangtua membagi waktu mendampingi anak saat sekolah. Akhirnya, saat anak-anak belajar daring, para orangtua darting alias darah tinggi.
Sudah hampir enam bulan anak-anak belajar dari rumah. Belum ada kejelasan kapan sekolah akan dibuka kembali. Jangankan untuk zona merah atau kuning, untuk zona hijau saja belum jelas. Kondisi ini membuat sebagian masyarakat dongkol. Sebab, sekolah daring yang berjalan selama ini ternyata merepotkan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan duka yang mendalam atas meninggalnya seorang anak berusia 8 tahun yang menjadi korban kekerasan orangtuanya sendiri akibat kesulitan belajar online atau pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Sang anak diketahui mendapatkan beberapa pukulan dari orangtuanya saat belajar online di rumah.
“Pembelajaran jarak jauh memang membutuhkan bimbingan dan bantuan orangtua di rumah, menjadi tugas ayah dan ibu untuk mendampingi anak belajar dari rumah. Yang utama adalah keteraturan belajar, tidak harus dituntut bisa semua mata pelajaran dan tugas untuk diselesaikan dengan benar atau sempurna,” kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan tulis, Rabu (16/9/2020).
Menurut Retno, kesabaran orangtua membimbing anak-anaknya belajar di rumah selama pandemi Covid-19 menjadi modal utama agar anak tetap semangat dan senang belajar. Jika selalu dibentak apalagi dipukul, anak justru akan mengalami kesulitan memahami pelajaran.
“KPAI sangat prihatin atas perbuatan kedua orangtua korban yang justru membawa jenazah korban dengan kardus ke Lebak dan dimakamkan sendiri secara diam-diam di TPU Desa Cipalabuh,” katanya.
Diketahui jenazah korban tidak dimakamkan secara layak dan sesuai ketentuan agama. Hal tersebut dilakukan demi menutupi kesalahan pelaku yang merupakan orangtua kandung korban.
“Dalam UU 35/2014 tentang perlindungan Anak, ada ketentuan jika pelaku kekerasan adalah orang terdekat korban, maka pelaku bisa mendapat pemberatan hukuman sebanyak 1/3. Dalam kasus ini tuntutan hukuman maksimal 15 tahun dan jika diperberat 1/3 menjadi 20 tahun,” ucapnya.
KPAI mengingatkan para orangtua dan para guru selalu membangun komunikasi yang baik selama kegiatan Belajar dari Rumah (BDR). Peran guru yang digantikan orangtua siswa haruslah dilakukan dengan memperhatikan tumbuh kembang dan kemampuan anak.
“Guru juga jangan memberikan penugasan yang terlalu berat, apalagi pada anak SD kelas 1 – 3 yang mungkin saja baru belajar membaca dan belajar memahami bacaan. Perlu dikomunikasi kondisi dan kesulitan yang dihadapi anak, karena setiap anak tidak sama,” ujar Retno.
Retno juga mengingatkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak juga berkorelasi pada perkembangan regulasi emosi anak dan perilakunya yang buruk di kemudian hari.
“Sebagai contoh, anak kehilangan kemampuan untuk menenangkan dirinya, menghindari kejadian-kejadian provokatif dan stimulus yang memicu perasaan sedih dan marah, dan menahan diri dari sikap kasar yang didorong oleh emosi yang tidak terkendali,” tuturnya.
Sebelumnya, LH (26) seorang ibu tega membunuh anaknya di rumah kontrakannya di Kecamatan Larangan, Kota Tangerang, Banten.
Kepada penyidik, LH mengaku kesal lantaran korban susah diajarkan saat belajar online. Korban yang duduk di kelas 1 sekolah dasar (SD) ini kesulitan mengerjakan tugas sekolah yang diberikan gurunya.
Untuk menutupi perbuatannya, LH dan sang suami menguburkan jasad anak kandung mereka di sebuah Tempat Pemakaman Umum (TPU) di kawasan Lebak Banten.