Islamktp– Pengamat perpajakan, Yustinus Prastowo berpendapat, adanya kesepakatan penandatanganan MLA (Mutual Legal Asisstance) antara Indonesia dan Swiss pada Senin (4/2/2019) kemarin, diharapkan memperlancar informasi aset maupun harta milik Warga Negara Indonesia (WNI) yang sengaja disembunyikan di negara luar dengan alasan menghindari pajak.

“Mengapresiasi penandatanganan MLA ini sebagai sebuah langkah maju yang akan bermanfaat bagi kedua negara, terutama bagi Indonesia dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan pidana perpajakan yang selama ini sulit dilakukan karena kendala keterbatasan akses dan daya jangkau. MLA ini akan memungkinkan bantuan pelacakan, perampasan, dan pengembalian aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss,” ujarnya melalui pernyataan tertulisnya yang diterima Selasa (5/2/2019).

Menurut penelitian Gabriel Zucman (2017), jumlah asset global di offshore/tax havens mencapai 10 persen PDB global atau USD5,6 triliun (Rp80.000 triliun) dan sebesar USD2,3 triliun (Rp32.000 triliun) disimpan di Swiss. Secara tradisional Swiss merupakan negara suaka pajak (tax haven) tertua dan paling diminati. Sejak tahun 1924, ketika Perang Dunia memaksa negara-negara menaikkan tarif pajak, tiga kota di Swiss yakni Geneva, Basel, dan Zurich menjadi tujuan penyimpanan dana asing.

Namun sejak 2005, daya tarik Swiss sebagai tax haven terus menurun dari 45 persen porsi global hingga tinggal 28 persen di tahun 2015. Hal ini terjadi karena terungkapnya beberapa skandal penggelapan pajak yang melibatkan perbankan Swiss. Selain inisiatif Pemerintah Swiss untuk melonggarkan kerahasiaan dan bekerja sama dengan negara lain. Lokus tax haven kemudian bergeser ke negara-negara di Eropa, Asia, dan Amerika.

“Salah satu hal yang perlu didalami adalah tidak masuknya Swiss dalam 5 besar negara asal harta deklarasi dalam program pengampunan pajak, yaitu Singapura, Virgin Islands, Hongkong, Cayman Islands, dan Australia. Apakah orang Indonesia yang menempatkan dananya di Swiss telah ikut migrasi sejak 2005, atau punya kepercayaan diri hartanya tidak akan tersentuh sehingga tidak perlu ikut pengampunan pajak,” katanya.

Di sisi lain, Indonesia telah mengikuti inisiatif global Automatic Exchange of Information (AEOI), yang akan membuka akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan telah diikuti tidak kurang dari 106 negara. Indonesia juga telah menerbitkan UU No. 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang memungkinkan pertukaran informasi domestik dan antarnegara dapat dilaksanakan.

Maka dengan adanya MLA tersebut, dibutuhkan koordinasi dan sinergi kelembagaan untuk mengusut apabila ada tindakan korupsi atau penggelapan uang menghindari pajak di Indonesia. Lembaga yang akan dilibatkan antara lain, KPK, Polri, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan Ditjen Pajak.

“Batu uji berikutnya adalah keberanian untuk melakukan investigasi, termasuk kemungkinan menyentuh elite dan oligarki-oligarki yang kuat kuasa, yang kemungkinan pernah menikmati kekebalan hukum dan keuntungan luar biasa dari eksistensi suaka pajak dan lemahnya sistem hukum Indonesia,” tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna Hamonangan Laoly menandatangani Perjanjian Mutual Legal Assistance dengan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter di Bernerhof Bern, Swiss.

Dilansir dari Antara, dalam perjanjian itu terdapat 39 pasal yang meliputi aturan bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Selain itu, perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud).

“Perjanjian ini merupakan bagian dari upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melakukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya”, katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *