TORAJA – Sebuah ritual langka dan unik hingga kini lestari di Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel). Ma’nene, begitulah nama tradisi berbau mistis itu. Ritual Ma’nene menjadi tradisi rutin setiap tahunnya di kalangan Suku Toraja. Ma’nene ialah ritual mengganti pakaian jenazah leluhur atau kerabat keluarga yang sudah meninggal dunia.
Tradisi ini dipercaya masyarakat lokal secara turun temurun dan sudah berlangsung sejak ribuan tahun silam. Bahkan, tradisi tersebut sudah mendunia. Ma’nene dapat dijumpai di Kabupaten Toraja Utara pada Juli hingga puncaknya pada Agustus dalam setiap tahunnya.
Ritual itu dilangsungkan usai panen padi oleh masyarakat di Kecamatan Rindingallo dan sekitarnya. Ratusan mayat saat itu dikeluarkan dari kompleks pemakaman khas Toraja atau orang Toraja biasa menyebutnya Patane.
“Ini sebagai penghormatan kepada leluhur kami. Terlihat dengan kami mengganti pakaian jenazah mereka para pendahulu kami. Ini adalah bentuk cinta kasih kami,” ujar salah satu tokoh masyarakat Desa Rindingallo, Y Tarukbua.
Di kalangan Suku Toraja, mereka meyakini bahwa hubungan keluarga tidak berakhir begitu saja setelah datangnya kematian. Sehingga, ketika ritual Ma’nene berlangsung, mayat keluarga ataupun kerabat akan dikeluarkan dari tempat penyimpanan lalu dimandikan untuk kemudian dipakaikan pakaian baru dan mewah. Uniknya, rangkaian prosesi itu wajib diikuti dengan suka cita, tanpa ada perasaan berkabung apalagi sampai menangisi jenazah.
Sebelum kembali dimasukkan ke dalam peti, jenazah tadi akan dijemur di bawah teriknya sinar matahari untuk dikeringkan. Tujuannya, agar jasad tersebut tetap awet. Selain mengganti pakaian mayat, ritual ini juga diikuti oleh ritual pemotongan hewan kerbau dan babi sebagai bentuk persembahan.
Tradisi Ma’nene hingga kini masih eksis di kalangan masyarakat Toraja. Mereka beranggapan, ritual unik tersebut perlu dilestarikan, karena tak lain sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur maupun sanak keluarga yang sudah meninggal dunia.
“Ini juga sebagai momen kami bertemu dengan keluarga yang ada di perantauan untuk datang mengadakan tradisi Ma’nene,” kata seorang warga Toraja Utara, Andarias.
Sementara itu, tokoh agama setempat, Pendeta (Pdt) Hilkia Putra Nehemia mengatakan, tradisi budaya warisan nenek moyang diakuinya, tidak bisa begitu saja dipisahkan dari masyarakat lokal. “Dalam sejarah, Alkitab juga tidak bisa lepas dan dipisahkan dengan yang namanya budaya, yaitu budaya Yahudi,” kata Hilkia.
Namun, berbeda dengan tradisi Ma’nene yang merupakan ritual sebagai simbol penghormatan terhadap jenazah leluhur. Menurutnya, tradisi orang Toraja yang masih terpengaruh oleh kepercayaan nenek moyang, dalam perspektif Kristen sudah kurang tepat dan tidak sesuai dengan budaya Kekristenan di kalangan masyarakat Toraja.
“Namun, jika dihubungkan dengan mewarisi kekayaan budaya, sebenarnya tidak salah, jika tidak dihubungkan dengan kepercayaan dahulu yang disertai prosesi aluk todolo (kepercayaan leluhur-red). Dalam hal inilah gereja tidak setuju dengan tradisi Ma’nene,” tuturnya