Pelukan ibu 15 tahun lalu di salah satu stasiun kereta api itu masih kurasa. Kalimat terakhir itu terus terngiang di telinga. “Mbak, titip adik-adikmu ya.” Ibu mengucapkan kalimat itu dengan lembut. Aku tidak kuasa menjawab selain mempererat pelukanku, tak terasa air mata mengucur deras dari mataku yang makin sayu.

Hingga kini aku masih tidak percaya ibu sudah tidak ada. Harum aroma perempuan yang melahirkanku itu masih bisa kuhidu. Ibu, rasanya baru kemarin kubersimpuh di kakimu. Rasanya belum lama kutidur di pangkuanmu. Rasanya kemarin kita masih bercanda gurau sambil memasak masakan kesukaan keluarga kita.

Ketika mengunjungi makam ibu, kesedihan kutahan di dada. Air bening yang mau keluar, sebisa mungkin kuseka. Namun, lagi-lagi aku menyerah. Aku masih menangis setiap ingat ibu. Aku merasa belum bisa membahagiakan beliau. Masih terlintas banyak hal yang ingin kulakukan untuk ibu, wanita pertama didunia ini yang ingin kubuat bangga dan bahagia karena telah melahirkanku kebumi ini dengan hangat kasih sayangnya.

Di depan adik-adik, kuperlihatkan ketegaran yang luar biasa. Entah dari mana kekuatan itu muncul. Begitu juga ketika bertemu para tamu yang takziah. Hingga hari ketujuh masih banyak yang mengunjungi rumahku. Aku senang ibu dikenal sebagai pribadi yang baik dan mempunyai teman banyak. Aku bersyukur dikelilingi tetangga dan keluarga yang mengurus pemakaman ibu hingga acara tahlilan.

Sepeninggal ibu, aku memang mengalami kedukaan. Namun, aku harus tetap berjuang memberikan pendidikan yang terbaik buat adik-adik. Amanah ibu harus kutunaikan agar beban di hatiku berkurang.

Aku tetap meneruskan pekerjaan di perantauan. Kutahan rindu kepada adik-adik demi memberikan bekal hidup layak kepada mereka. Adik bungsu kutitipkan kepada adik tertua dan nenek. Adik yang masih kuliah kuminta tetap melanjutkan kuliah.

Kuniatkan hidupku untuk membiayai adik-adik. Untuk soal ini, aku sudah tidak memikirkan diriku lagi. Bagiku adik-adik lebih penting. Kutahan semua keinginan dan nafsu belanja. Apalagi makan makanan enak. Aku tidak mau hidup enak di perantauan sementara adik-adikku kelaparan.

Ada satu masa aku ingin menyerah ketika adik-adikku berulah. Terkadang aku ingin menangis bila mengingat semua yang telah kulakukan. Namun, lagi-lagi kutahan diri. Sebisa mungkin aku tidak memarahi adik-adik karena mereka juga sedih dengan ketiadaan ibu.

Terkadang rasanya aku sangat marah pada kondisi ini, aku seperti berjuang sendiri namun tidak ada yang bantu menguatkanku. Aku rindu ibu. Terkadang aku juga berpikir apakah seandainya masih ada ibu, aku harus berjuang sampai seperti ini?

Ah sudahlah pikirku, aku yakin ini yang terbaik Tuhan gariskan dihidupku. Dan aku juga percaya ibu sekarang pasti bangga terhadap aku. Semua ini aku lakukan untuk ibu. Aku pun terus melangkah dan berjuang penuh semangat.

Kini aku bahagia ketika satu per satu adik-adikku lulus sekolah. Mereka sudah hidup bahagia dengan keluarga masing-masing. Aku juga menikmati kebahagiaan dengan keluarga kecilku. Amanah ibu sudah kutunaikan dan itu yang kusampaikan setiap mengunjungi makam ibu. Doa pun masih terus kupanjatkan untuk ibu selesai salat fardu. Kuyakin ibu pasti tersenyum bahagia di sana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *