Islamktp- Surutnya minat penumpang terhadap transportasi udara akibat lonjakan harga tiket penerbangan domestik belakangan ini berdampak langsung pada bisnis kuliner di kawasan Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten.
Omzet bulanan sebuah restoran di Terminal 1 Bandara Soetta turun tajam hingga tinggal 50 persen dari biasanya.
Saiful, karyawan sebuah restoran makanan khas Nusantara mengatakan, sepanjang Januari 2019 gerainya hanya memeroleh keuntungan Rp 12 juta per bulan.
Sebelum peristiwa lonjakan harga tiket terjadi laba yang diperoleh bisa mencapai Rp 25 juta lebih per bulan.
“Yang masih mendingan (pengunjungnya) itu kalau saat makan siang sama makan malam. Selebihnya satu-dua pengunjung sudah bagus,” kata Saiful, Jumat (8/2/2019).
Demi mengantisipasi penurunan omzet, sang pemilik restoran sampai-sampai berinovasi menghadirkan menu lain seperti camilan bakso, siomay, batagor, dan lainnya.
“Si bos (pemilik restoran) sekarang jual ini (camilan) supaya penumpang mau mampir. Memang sekarang sudah lumayan karena harganya tidak begitu mahal beda dengan menu utama,” katanya menambahkan.
Saiful bercerita terakhir kali penumpang masih ramai pada Oktober 2018, setelahnya mulai surut hingga Februari 2019 tidak juga bertumbuh.
“Pas peristiwa Lion (JT 610) jatuh itu yang benar-benar ramai. Mungkin karena banyak keluarga korban datang (cari info) dan orang-orang ingin tahu perkembangan,” paparnya.
Demikian dengan tennant lainnya di Terminal 1 Soetta, pengunjung tidak banyak, terhitung jari.
Peristiwa Tiket Naik Tak Hanya di Indonesia
Dalam dua bulan terakhir, para penumpang pesawat mengeluhkan naiknya harga tiket pesawat domestik dan penerapan bagasi berbayar oleh hampir semua maskapai di Indonesia.
Dua kebijakan dari maskapai penerbangan ini menimbulkan keresahan para penumpang, memicu kericuhan di bandara, namun juga berdampak pada turunnya jumlah penumpang.
Bahkan, banyak penumpang yang menyalahkasn pemerintah meskipun kenaikan harga tiket pesawat maupun penghapusan bagasi gratis adalah murni kebijakan kelompok maskapai.
Fenomena ini sebenarnya tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di hampir seluruh Asia Tenggara, khusunya untuk penerbangan domestik dan jarak pendek.
Sebuah artikel yang dilansir South China Morning Post, Senin (4/2/2019) menggambarkan masalah besar yang dihadapi oleh hampir semua maskapai penerbangan di Asia Tenggara dalam kuartal terakhir.
Lonjakan penumpang yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di Asia, terutama Asia Tenggara, ternyata tidak berbanding lurus dengan keuntuhngan maskapai.
SCMP mengutip laporan terakhir oleh CAPA Centre for Aviation yang berbasis di Sydney.
Menurut studi CAPA, dari 20 maskapai penerbangan yang ada di Asia Tenggara, hanya enam perusahaan saja yang mencatatkan untung, sementara 14 lagi merugi.
Bahkan, dari 20 maskapai tersebut, 19 diantaranya mencatat penurunan laba dari periode Juli hingga September 2018, dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Studi tersebut mengatakan, Asia Tenggara adalah pasar dengan pertumbuhan penumpang yang cepat namun tidak menghasilkan untung.