Dalam beberapa waktu terakhir, omnibus law memicu banyak perdebatan di tingkat nasional. Istilah omnibus law di Indonesia pertama kali akrab di telinga setelah pidato pelantikan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu.

Omnibus law ini sejatinya lebih banyak kaitannya dalam bidang kerja pemerintah di bidang ekonomi. Yang paling sering jadi polemik, yakni ombinibus law di sektor ketenagakerjaan yakni UU Cipta Lapangan kerja.

Sebagaimana bahasa hukum lainnya, omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang berarti banyak. Artinya, omnibus law bersifat lintas sektor yang sering ditafsirkan sebagai UU sapujagat. Ada tiga hal yang disasar pemerintah, yakni UU perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan UMKM.

Omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.

Senin (5/10/2020) Omnibus law RUU Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR. Pengesahan tersebut dilakukan dalam rapat paripurna ke-7 masa persidangan 2020-2021. Rapat tersebut dihadiri 318 anggota DPR, baik yang datang di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, maupun secara virtual.

Omnibus Law ini diklaim memiliki tujuan mengatasi masalah ekonomi dan bisnis, terutama mengenai cipta lapangan kerja di Indonesia. Namun, setelah disahkan, RUU ini menjadi topik yang ramai dibicarakan, terutama dampaknya bagi masyarakat Indonesia.

Meski Omnibus Law UU Cipta Kerja telah disahkan, gelombang penolakan dari kalangan kelompok pekerja buruh tidak mereda. Meskipun karyawan kantoran juga terkena dampaknya, akan tetapi belum ada reaksi dari pekerja kantoran.

Membaca Lagi 6 Alasan Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Berikut ini beberapa poin Omnibus Law UU Cipta Kerja yang banyak ditolak terutama dari kelompok buruh :

1. Hari Libur Dipangkas

Hak pekerja untuk mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan sebelumnya sudah di atur dalam UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pada Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan untuk memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang sudah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.

Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.

Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

2. Kontrak Kerja

Omnibus law menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Di Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi mempengaruhi kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.

3. Sanksi bagi Perusahaan Tidak Bayar Upah Sesuai Ketentuan Dihapus


Dalam Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dan pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan. Namun dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.

4. Pasal soal Pesangon

Yang juga dipermasalahkan dalam UU Ciptaker adalah pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diturunkan dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah, dengan rincian 19 kali upah ditanggung pemberi kerja dan 6 kali upah ditanggung melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan besaran pesangon tersebut hanya untuk pekerja dengan waktu kerja di atas 24 tahun dan dengan alasan tertentu. Jadi, besaran pesangon tersebut sebenarnya juga tidak bisa dinikmati oleh semua pekerja selama ini.

“32,2 kali upah itu adalah pesangon paling tinggi dan itu didapat untuk pekerja-pekerja yang punya usia kerja 24 tahun ke atas. Alasan PHK-nya juga tertentu, satu karena meninggal dunia, dua karena pensiun, tiga karena di PHK karena efisiensi, empat karena perusahaan merger tidak boleh ikut perusahaan baru, jadi tidak seluruh PHK (dapat 32,2 kali upah),” kata Timboel

5. Pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Salah satu pasal UU Ciptaker merevisi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), termasuk pasal sakti penjerat pembakar hutan.

Berdasarkan draf RUU Cipta Kerja, salah satu pasal yang direvisi adalah Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *